0

Jaga Martabat Pengadilan, Jurnalis Perlu Gunakan Istilah Hukum yang Tepat

Menulis berita hukum, misalnya laporan sidang pengadilan, gampang-gampang susah. Di Indonesia, jurnalis bisa langsung melihat proses persidangan terbuka dan mencatat argumen para pihak. Tetapi ada rambu-rambu penting yang harus diikuti, seperti anonimitas pada sidang peradilan pidana anak. Jurnalis juga harus menghindari kalimat yang menghakimi meskipun seseorang terkena operasi tangkap tangan.

Jurnalis, dengan tugas dan fungsinya, berperan penting menjaga martabat pengadilan, atau ikut menjaga marwah penegakan hukum. Lewat informasi yang disampaikan ke publik, jurnalis dapat membentuk opini publik dan secara tidak langsung ‘mengarahkan’ pandangan masyarakat tentang masalah-masalah hukum, khususnya pemberitaan pengadilan. Menyadari itu pula, Komisi Yudisial menggelar sinergitas dengan media massa dengan membuat sesi khusus tentang pemahaman bahasa hukum. “Jurnalis beperan besar menjaga martabat pengadilan,” kata Ketua Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus.

Memahami bahasa hukum, atau istilah-istilah hukum tertentu dan khas, adalah tantangan bagi jurnalis yang meliput di lembaga-lembaga hukum seperti Komisi Yudisial, Mahkamah Agung dan lingkungan peradilan di bawahnya, kepolisian, dan Mahkamah Konstitusi. Apalagi jika jurnalis yang bertugas tak berlatar belakang hukum atau tak punya pengalaman meliput masalah-masalah hukum sebelumnya. Sebaliknya, bahasa hukum acapkali menyulitkan pembaca awam untuk memahami apa maksud sebenarnya. Karena itu ara jurnalis, perlu membekali dirinya dengan istilah-istilah hukum yang lazim dipakai dan sesuai dengan konteks pemberitaan.

Bahasa hukum itu berkorelasi dengan pemberitaan yang logis. Keliru memahami dan menggunakan istilah hukum yang tepat bisa berdampak baik kepada si jurnalis maupun kepada masyarakat. Sebagai contoh, ketika jurnalis menulis ‘majelis hakim praperadilan memutuskan permohonan praperadilan ditolak’ hampir pasti kalimat itu tidak logis, karena pada dasarnya hakim praperadilan bukan majelis.

Redaktur Senior Hukumonline, Muhammad Yasin memaparkan kepada beberapa wartawan dan memberikan pembedaan terkait istilah dan bahasa hukum yang seringkali dijumpai dalam sebuah diskusi bertajuk “Peran Media Massa dalam Mewujudkan Akutanbilitas Peradilan” yang dilaksanakan oleh Komisi Yudisial dalam waktu dekat ini.

Yasin mengatakan penggunaan bahasa hukum yang salah dapat mengakibatkan kesalahan persepsi atau berdampak kerugian seseorang. Jika ditelaah lebih jauh, penggunaan bahasa hukum yang tidak tepat dapat memengaruhi esensi isi pemberitaan dan kekeliruan dalam memaknai bahasa hukum tersebut. “Untuk itu, para wartawan perlu memahami istilah dan bahasa hukum agar dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat tidak bias, multitafsir atau cenderung keliru,” kata yasin dalam waktu dekat ini.

Istilah dan bahasa hukum beraneka ragam, diantaranya terdapa istilah hukum yang berasal dari hukum pidana, perdata, bisnis, tata negara dan dunia peradilan. Tentu, kata yasin, bagi seorang wartawan yang bukan berlatarbelakang pendidikan hukum memiliki keterbatasan memahami diksi dan pilihan kata yang tepat untuk mengubah kata ganti istilah dan bahasa hukum tersebut.

“Terlebih, terdapat beberapa media massa yang menitik beratkan, yang penting tulisan dan berita yang disajikan banyak yang baca. Tanpa, memikirkan diksi yang tepat untuk digunakan dalam tulisan,” tuturnya.

Padahal, kata dia, istilah dan bahasa dalam sebuah tulisan memiliki pengaruh yang kuat, sebab setiap pembaca memiliki pandangan dan tafsiran yang berbeda-beda dalam sebuah tulisan yang dimuat dalam media massa. “Maka, memnggunakan bahasan yang tepat dapat memberikan sebuah manfaat kepada pembaca,” ujarnya.

Ia mencontohkan seperti istilah ‘saksi’ dan ‘ahli’. Yasin menjelaskan tidak jarang jurnalis yang tidak dapat membedakan apa arti saksi dan ahli, dengan menyebut ahli sebagai saksi ahli. Padahal, penggunaan kata ‘saksi ahli’ kurang tepat, karena saksi ialah seseorang yang melihat, mengetahui, dan mendengar terjadinya sebuah peristiwa, sedangkan ahli adalah orang yang memberikan keterangannya sesuai dengan keilmuan tertentu di persidangan. Keduanya, memiliki konteks yang berbeda. “Maka, yang benar dalam menulis ahli dalam sebuah pemberitaan ialah ahli, bukan saksi ahli,” jelasnya.

Istilah lainnya, dalam sidang praperadilan hanya terdapat hakim tunggal. Namun, seringkali para wartawan menulisnya dengan majelis hakim. Padahal, sebutan majelis hakim itu berarti hakimnya lebih dari satu bukan tunggal. “Jadi, penggunaan majelis hakim dalam sidang praperadilan jelas salah,” koreksinya.

Kemudian, dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, terdapat istilah dan bahasa hukum dissenting opinion dan concurring opinion yang maknanya berbeda. Ada juga istilah ‘permohonan’ yang relatif bersifat sepihak, dan lema ‘gugatan’ yang cenderung mengandung unsur sengketa antara dua pihak atau lebih. Kesalahan lain yang sering ditemukan adalah penulisan putusan pengadilan ‘ditolak’ padahal baru tahap putusan sela dan putusan sebenarnya adalah ‘tidak dapat diterima’.

(Baca juga: Membumikan Bahasa Hukum)

Ketua Hubungan Antar Lembaga KY, Farid Wajdi mengatakan para wartawan seharusnya memahami dan menggunakan bahasa hukum yang tepat agar tidak menimbulkan dalah kaprah dan multitafsir dikalangan masyarakat. Ia mencontohkan, misalnya di KY sendiri. Ia menjelaskan saat KY melakukan pemeriksaan terhadap hakim, seringkali jurnalis membahasakannya dengan istilah ‘menyelidiki’. Padahal, KY tidak pernah menyelidik hakim tetapi hanya memeriksa. Selain itu, sebutan sebagai hakim yang diperiksa adalah ‘hakim terlapor’ bukan ‘tersangka’.

Contoh lainnya, lanjut Farid, pemberitaan sidang yang ditunda karena salah satu pihak tidak hadir. Acapkali jurnalis menulis sidang tersebut ‘dibatalkan’. Padahal penundaan dan pembatalan sidang adalah dua lema yang berbeda maksud. “Ini kan sudah berbeda sekali maknanya,” tuturnya.

Bisa Cederai Martabat Peradilan

Farid menegaskan suatu pemberitaan yang tidak sesuai dengan makna sesungguhnya dalam bahasa hukum tidak hanya dapat memberikan citra yang tidak baik bagi peradilan, lebih jauh lagi dapat menciderai martabat peradilan. “Dan, bukan hanya peradilan saja yang tercederai tetapi juga martabat hukum. Nah, kalau martabat hukum sudah menjadi keliru, maka persepsi publik juga akan memberikan dampak tidak baik,” tandasnya.

Oleh karena itu, Farid menyarankan bahasa hukum yang digunakan oleh para wartawan dalam membuat tulisan harus bersifat lugas, tegas dan sederhana tetapi tidak boleh keluar dari makna yang terkandung didalam setiap istilah atau bahasa hukum itu sendiri.

“Jadi, kuncinya dalam membuat narasi peliputan peristiwa hukum sepatutnya kawan media harus tetap membuat pendekatan bahasa hukum. Karena, bahasa hukum memiliki karakteristik yang berbeda, dan jika salah digunakan maka maknanya juga akan keliru,” sarannya.

Yasin menambahkan seorang wartawan dalam mengartikan istilah hukum atau bahasa hukum dalam menulis sebuah berita dapat memberikan diksi yang bersifat terang dibaca oleh pembaca atau yang bersifat gelap. “Tergantung pilihan para wartawan, maka pilihlah diksi yang bermanfaat bagi masyarakat dalam memaknai istilah atau bahasa hukum,” pungkasnya.

Dikutip dari:

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5bd5595247a8b/jaga-martabat-pengadilan–jurnalis-perlu-gunakan-istilah-hukum-yang-tepat

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *