0

PENCURIAN  Vs.  UU ITE :  KASUS PENCURIAN COKLAT DI MINIMARKET ALFAMART SAMPORA, TANGERANG SELATAN

PENCURIAN  Vs.  UU ITE :  KASUS PENCURIAN COKLAT DI MINIMARKET ALFAMART SAMPORA, TANGERANG SELATAN

Oleh : Vincensius Binsar Ronny*

 Kronologis peristiwa  yang viral di media sosial ini terjadi pada pertengahan bulan Agustus 2022, bermula saat seorang wanita bernama Mariana Ahong kedapatan mengambil cokelat di Alfamart Sampora, Tangerang Selatan.  Kemudian, pegawai Alfamart memergoki aksi wanita tersebut dan memvideokannya.  Dalam video tersebut, pegawai Alfamart meminta wanita itu untuk jujur dan mengakui perbuatannya.  Akhirnya, wanita itu mengakui telah mengambil cokelat, dan ia pun mengeluarkan cokelat itu dan memberikannya kepada pegawai minimarket dan mencoba kabur dengan mobil Mercedes-Benz nya.  Pegawai Alfamart yang merekam Mariana, meminta yang bersangkutan untuk membayar apa yang dia curi, dan konsumen itu pun mengembalikan setumpuk cokelat sambil berjalan kembali ke kasir untuk membayar.

Selang beberapa hari kemudian Mariana datang kembali ke Alfamart Sampora didampingi dengan seorang pengacara untuk menemui pegawai Alfamart tersebut, dan pengacaranya menjelaskan bahwa karena banyak beban pikiran Mariana tidak sadar ada cokelat di tasnya, ia tidak tahu mengapa cokelat tersebut tiba-tiba ada di tas Mariana.  Mariana mengira kejadian tersebut sudah selesai, namun ternyata keesokan hari setelah kejadian pencurian itu ia baru mengetahui dari anaknya bahwa dirinya telah viral di media sosial atas kejadian di Alfamart Sampora tersebut.  Mariana meminta klarifikasi dari pegawai Alfamart.

Mariana dan pengacaranya meminta pegawai Alfamart untuk meminta maaf usai kejadian tersebut dan mengancam pegawai Alfamart dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) UU ITE jika tidak minta maaf, karena Mariana merasa telah dicemarkan nama baiknya lewat video viral tersebut.  Kasus pegawai Alfamart tersebut berlanjut dimana pegawai Alfamart akhirnya meminta maaf usai memergoki Mariana yang telah mencuri cokelat.  Tampak dalam video tersebut, seorang wanita yang mengenakan seragam pegawai Alfamart memberikan klarifikasi sambil berdiri diapit Mariana dan pengacaranya.  Dalam video itu pula, pegawai Alfamart itu menyebut peristiwa yang terjadi hanya kesalahpahaman, ia meminta maaf kepada wanita yang dipergokinya yaitu Mariana.

Hasil investigasi awal, pihak Alfamart mengklaim Mariana juga mencuri produk lain, selain cokelat. Perusahaan pun akan mengambil langkah hukum untuk menyelesaikan permasalahan ini, dengan membuat laporan resmi ke pihak Kepolisian setempat.

Melihat kronologis kejadian diatas, maka penulis simpulkan ada 3 (tiga) dugaan tindak pidana yang terjadi dalam kasus Alfamart Sampora ini, yaitu :  Pencurian yang dilakukan Mariana Ahong, Pencemaran nama baik dalam UU ITE yang menjerat pegawai Alfamart dan Pengancaman terhadap pegawai Alfamart.

Perbuatan Mariana Ahong yang mengambil coklat di minimarket Alfamart jelas salah, karena melanggar ketentuan Pidana jo. pasal 362 KUHP mengenai tindak pidana Pencurian dengan ancaman penjara maksimal 5 tahun penjara.  Mariana yang mencuri coklat itu bisa tetap dijerat pasal pencurian, walaupun barang yang dicuri itu sudah dibayarkan setelah aksinya terpergok oleh pegawai Alfamart. Perbuatan pencuriannya sudah terjadi. Bahwa perlu dicermati, pencurian itu adalah delik formil, yang artinya jika sudah terjadi perbuatan pidana (pencurian) maka unsurnya sudah terpenuhi, meskipun pelaku pencurian dalam hal ini Mariana kemudian mengganti rugi kepada minimarket Alfamart.  Terkait dengan adanya ganti rugi oleh Mariana in casu pembayaran kepada pegawai Alfamart, maka pada azasnya ganti rugi itu tidak menghapus pidananya, namun bisa dijadikan alasan untuk meringankan hukuman pelaku di persidangan nanti atau sebagai alasan untuk kepentingan restoratif justice atau perdamaian/rekonsiliasi antara pelaku dan korban.

Lebih lanjut sehubungan peristiwa pencurian tersebut, maka yang bisa melaporkan kepada pihak berwajib atau kepolisian yaitu Alfamart, pegawai yang bersangkutan, orang lain yang menyaksikan pencurian itu atau langsung mendapat tindakan oleh polisi (tidak perlu ada laporan dari siapapun) sebagaimana ketentuan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 6 tahun 2019 laporan model A.

Mariana, dalam kasus ini karena merasa sebagai korban yang dirugikan, boleh-boleh  saja berniat untuk membuat laporan polisi dengan tuduhan telah mencemarkan nama baiknya lewat video yang telah dibuat dan di-upload pegawai Alfamart tersebut dan menjeratnya dengan UU ITE.  Namun kemudian menimbulkan pertanyaan yuridis : “Apakah pegawai Alfamart tersebut bisa  dikenakan UU ITE karena tindakannya mem-videokan peristiwa pencurian dan mem-viralkannya ke jagad dunia maya ?”

Jika melihat ketentuan di dalam UU ITE, kita akan temukan beberapa pasal yang mungkin bisa diterapkan dalam kasus ini.  Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) memiliki begitu banyak pasal yang mengatur larangan dalam aktivitas yang dianggap merugikan.  Salah satunya, tindakan mengambil gambar atau merekam seseorang tanpa izin, lalu menyebarkannya.  Pasal yang bisa menjeratnya adalah UU ITE pasal 32 ayat 1, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut : “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak“.

Selain itu, ini larangan yang juga ada di UU ITE adalah sebagai berikut :

  1. Mendistribusikan dokumen elektronik bermuatan asusila, perjudian, pencemaran nama baik, pemerasan, dan pengancaman (pasal 27). Adapun Pasal 27 Ayat 3 UU ITE 11/2008 selengkapnya berbunyi sebagai berikut : “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.
  2. Mendistribusikan berita bohong atau hoax kepada masyarakat terkait suku, agama, ras antar golongan (pasal 28).
  3. Menyebarkan ancaman kekerasan/menakut-nakuti (pasal 29).
  4. Mengakses, mengambil, dan meretas sistem elektronik milik orang lain dengan cara apapun (pasal 30).
  5. Melakukan intersepsi atau penyadapan terhadap sistem elektronik milik orang lain dari publik ke privat dan sebaliknya (pasal 31).
  6. Mengubah, merusak, memindahkan ke tempat yang tidak berhak, menyembunyikan informasi atau dokumen elektronik, serta membuka dokumen atau informasi rahasia (pasal 32).

Selain UU ITE, sebenarnya telah ada Memorandum of Understanding (MoU) atau Surat Kesepakatan Bersama (SKB) tahun 2001 terkait  UU ITE Pasal 27 ayat 3 antara Kemenkominfo, Jaksa Agung, dan Polri.  Dalam MoU itu disebutkan bahwa setiap konten atau video yang berisi sebuah kenyataan atau fakta, tidak bisa diterapkan Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik.  Adapun SKB itu berisi tentang Pedoman Impelementasi Atas Pasal Tertentu Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, pada angka No. 3 huruf C.

Penulis menilai pegawai Alfamart yang merekam dan mengunggah pencurian cokelat di minimarket Alfamart tersebut tentunya tidak bisa dijerat dengan  UU ITE.  Tidak ada unsur pencemaran nama baik yang dilakukan pegawai Alfamart tersebut karena peristiwa pidana pencurian telah terjadi.  Jika Mariana benar-benar melaporkan pencemaran nama baiknya oleh pegawai Alfamart tersebut, maka secara yuridis laporan tersebut bisa gugur dengan adanya tindak pidana pencurian tersebut.

Selain itu, pegawai Alfamart tersebut tidak bisa dijerat dengan UU ITE, karena peristiwa yang terjadi dalam video yang direkam dan di-upload oleh pegawai Alfamart tersebut merupakan fakta yang memaparkan bahwa benar wanita itu telah mencuri  coklat, walaupun kemudian ia membayarnya.  Pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE hanya berlaku jika informasi yang dibagikan adalah fitnah atau tuduhan terhadap seseorang.  Pegawai Alfamart yang merekam dan menyebarkan video Mariana tidak bisa dituntut dengan menerapkan ketentuan UU ITE Pasal 27 Ayat 3 tentang pencemaran nama baik, karena tidak ada unsur mens rea atau niat jahat pegawai Alfamart dalam merekam dan menyebarkan fakta mengenai Mariana yang telah mencuri cokelat.

Video yang viral tersebut bukan tindak pidana/delik yang berkaitan dengan muatan penghinaan atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 27 ayat 3 UU ITE, jika muatan atau konten tersebut adalah berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan.  Jadi selama muatannya benar, maka orang yang memvideokan tidak bisa dianggap mencemarkan nama baik, apalagi dipidana dengan UU ITE, halmana diatur juga  dalam ketentuan Pasal 310 ayat 3 KUHP.  Pegawai Alfamart tersebut tidak melakukan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.  Jadi selama merekam video tanpa izin itu untuk kepentingan umum agar masyarakat atau penegak hukum mengetahui adanya perbuatan pencurian, atau dilakukan untuk membela diri dalam konteks ini tidak bisa dijerat UU ITE.

Tindakan Mariana yang marah dikarenakan viralnya video pencurian dan menuntut pegawai Alfamart tersebut dengan ancaman undang-undang (UU) ITE adalah hal yang keliru dan salah.  Di zaman sekarang ini, memviralkan sesuatu adalah lumrah, memviralkan merupakan sarana bagi seseorang atau masyarakat untuk mendapatkan suatu perhatian dan atau keadilan.  Jadi, tindakan karyawan Alfamart ketika memviralkan masalah ini tidak bisa dipersalahkan.

Terkait pengancaman terhadap pegawai Alfamart oleh Mariana, hal tersebut bisa dilaporkan oleh pegawai Alfamart ke pihak kepolisian.  Pasal 335 ayat 1 KUHP mengatur hal itu, ancaman nya 1 (satu) tahun penjara.

Rekomendasi dari penulis terkait kasus-kasus seperti diatas yang menyangkut penyalahgunaan penerapan pasal dalam UU ITE, maka perlu dilakukannya langkah-langkah kebijakan hukum yang lebih tegas berupa pembaharuan hukum dalam UU ITE yang menetapkan syarat limitatif bagi pelaporan, agar ke depannya tidak semua orang bisa sembarangan menggunakan ketentuan UU ITE untuk mengebiri kebenaran atas suatu fakta atau dengan kata lain mengkriminalisasi orang lain.

 Penulis adalah Advokat (Pengacara, Penasehat Hukum dan Konsultan Hukum), Founder, Managing Partner pada Kantor Hukum VINCENSIUS BINSAR RONNY, S.H., M.H. & PARTNERS di Bandung.

 

 

 

 

 

 

 

 

0

Saksi dan kualifikasinya

Oleh : Christian Suryaarga Indrajaya, S.H., *

Saksi adalah salah satu elemen penting proses hukum. Secara sejarah, saksi dan kesaksian saksi adalah salah suatu pembuktian yang paling sering dipakai di berbagai jenis pengadilan yang pernah ada di peradaban manusia.  Di Indonesia sendiri pengertian Saksi dapat ditemukan di pasal 1 ayat 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).  Menurut Pasal 1 ayat 26 KUHAP“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

Jadi menurut KUHAP, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan atas suatu kejadian hukum, apabila orang tersebut :

  • Mendengar sendiri peristiwa tersebut;
  • Melihat sendiri peristiwa tersebut;
  • Mengalami sendiri peristiwa tersebut.

Meskipun ketiga hal tersebut sudah terpenuhi, ada beberapa hal yang membuat seseorang dianggap tidak layak atau tidak dapat menjadi saksi.  Dalam Pasal 145 dan 146 HIR / Pasal 172 Rbg, dijelaskan tentang saksi-saksi mana saja yang tidak dapat didengarkan keterangannya secara mutlak, dan saksi-saksi yang dapat mengundurkan diri untuk memberikan kesaksian.  Terhadap ketentuan di dalam Pasal 145 ayat (1) HIR menjelaskan mengenai saksi yang tidak dapat didengar keterangannya atau tidak dapat menjadi saksi , yaitu :

Read More
0

Kepastian hukum dalam menegakkan hukum : Pentingnya Kesadaran Hukum Formal oleh Aparat Penegak Hukum

Kepastian hukum dalam menegakkan hukum : Pentingnya Kesadaran Hukum Formal oleh Aparat Penegak Hukum (Tinjauan terhadap Perkara Pidana Nomor : 953/Pid.B/2018/PN.Blb. jo. 32/PID/2019/PT.BDG. an. Terdakwa ZAINAL MUTAQIN)
Oleh : Vincensius Binsar Ronny *

Apa yang ada dalam pikiran kebanyakan masyarakat ketika harus berurusan dengan aparat penegak hukum? Kebanyakan orang mungkin berpikir bahwa berurusan dengan aparat penegak hukum adalah sesuatu yang mengerikan dan harus dihindari. Sebenarnya harus kita akui bahwa penegakan hukum di Indonesia telah sangat membaik dibanding masa-masa sebelum era reformasi. Selain itu juga pasti banyak aparat penegak hukum yang melakukan tugasnya dengan penuh dedikasi dan ketulusan yang luar biasa sehingga memberi dampak yang sangat positif bagi masyarakat. Akan tetapi juga perlu kita akui bahwa proses penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di Indonesia terkadang masih bermasalah dan juga masih terdapat oknum aparat penegak hukum yang tidak menjalankan tugasnya dengan benar.
Bagi beberapa orang yang tidak beruntung ketika harus berurusan dengan oknum aparat penegak hukum yang tidak menjalankan tugasnya dengan benar, banyak yang akan merasa bahwa mereka tersiksa, menderita, dan bahkan kehilangan harapan dan kepercayaan pada hukum yang berlaku. Padahal, fungsi paling mendasar dari seorang aparat penegak hukum adalah hukum dapat ditegakkan dengan baik dan benar. Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., penegakan hukum adalah “proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara”. Dapat dipahami bahwa aparat penegak hukum memiliki kewajiban mendasar yaitu untuk memastikan norma-norma hukum dijalankan dan ditegakkan, sehingga hukum baik dari sisi materil yang menyangkut isi dari hukum tersebut dan dari sisi formal yang menyangkut dari tata cara melaksanakan hukum yang berlaku dapat dilaksanakan dan dijalankan dengan baik.
Masalah muncul ketika oknum aparat penegak hukum melakukan pekerjaannya dengan tidak mengikuti aturan dan norma hukum yang berlaku. Besarnya tanggung jawab dan kekuasaan dari aparat penegak hukum, dapat membuat oknum aparat penegak hukum bertindak tidak hati-hati atau bahkan sewenang-wenang dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Pada kondisi seperti itu, masyarakat akan sangat dirugikan oleh perbuatan oknum-oknum tersebut. Salah satu contoh dari hal tersebut dialami oleh seseorang yang bernama ZAINAL MUTAQIN alias ZM. ZM telah dilaporkan oleh seseorang yang berinisial ST melalui kuasa hukumnya DN karena ST menilai ZM telah melanggar pasal 263 atau 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai dugaan tindak pidana pemalsuan surat atau memalsukan keterangan dalam akta autentik.
Dalam perjalanan kasus tersebut, ZM melalui Pengacara/Kuasa Hukumnya, Vincensius Binsar Ronny, S.H., M.H. dan Rekan kemudian mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Bandung dikarenakan ZM merasa proses penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam hal ini Kepolisian Daerah Jawa Barat kepadanya adalah cacat hukum dan tidak sah. Putusan hakim dalam perkara praperadilan dibawah register Perkara Nomor : 11/Pid.Prap/2018/PN.Bdg. tersebut pada intinya adalah mengabulkan permohonan praperadilan ZM dan menyatakan bahwa penetapan tersangka kepada ZM oleh Kepolisian Daerah Jawa Barat adalah tidak sah karena tanpa adanya Surat Pemberitahuan yang Sah Dimulainya Penyelidikan (SPDP) yang wajib diberitahukan kepada ZM sebagai terlapor/tersangka sesuai dengan amanat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 130/PUU-XIII/2015.
Dari putusan praperadilan tersebut dapat kita lihat, bagaimana ketidakhati-hatian atau kelalaian yang dilakukan oleh aparat penegak hukum masih terjadi dan tentunya sangat merugikan masyarakat. Kembali perlu diingat, bahwa penegakan hukum bukan sekedar menegakkan hukum materil yang menyangkut isi dari hukum tersebut, tapi juga harus menegakkan sisi formal yang menyangkut dari tata cara melaksanakan hukum yang berlaku agar hukum dapat dilaksanakan dan dijalankan dengan baik, sehingga benar benar memberi kepastian juga manfaat bagi masyarakat dan bukan sekedar untuk menakut-nakuti masyarakat.
Dapat dibayangkan kerugian yang dialami oleh ZM baik dari sisi materi seperti tidak mampu bekerja dan juga dari sisi immateril seperti waktu yang banyak hilang, nama baik, dan lain sebagainya. Bahkan lebih dari itu, kita bisa menyatakan bahwa hak asasi dan hak konstitusional ZM telah terlanggar. Yang lebih menyedihkan dan janggal dari kasus ini adalah walaupun telah keluarnya putusan praperadilan tersebut, Jaksa Penuntut Umum in casu Kejaksaan Tinggi Jawa Barat yang kemudian didelegasikan ke Kejaksaan Negeri Bale Bandung, menerima pelimpahan tersangka dan barang bukti dari Kepolisian Daerah Jawa Barat serta kemudian melakukan penahanan terhadap ZM.
Bahwa walaupun tidak pernah ada lagi tindakan hukum oleh penyidik kepolisian dalam hal penyidikan terkait perkara ini seperti : menerbitkan SPDP baru, tindakan hukum baru berupa surat pemanggilan yang sah sebagai saksi maupun tersangka, maupun tindakan hukum baru berupa pemeriksaan yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan baik sebagai saksi maupun tersangka baru dan juga tidak ada penetapan status tersangka berdasarkan hasil gelar perkara yang baru., namun pada kenyataannya Kepolisian Daerah Jawa Barat tetap melimpahkan tersangka dan barang bukti kepada Jaksa Penuntut Umum, halmana tentunya menunjukkan terjadi pelanggaran dan kesewenang-wenangan oleh aparat penegak hukum sehingga hak asasi dan hak konstitusi ZM terlanggar.
Dengan berbagai fakta hukum seperti yang telah disebutkan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung yang diketuai oleh Sihar Hamonangan Purba, S.H., M.H. dalam putusannya Nomor : 953/Pid.B/2018/PN.Blb. yang kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung dalam putusannya Nomor : 32/PID/2019/PT.BDG., memutuskan bahwa penuntutan kepada ZM oleh Penuntut Umum tidak dapat diterima dan Pengadilan memerintahkan Terdakwa ZM segera dibebaskan dari tahanan sejak putusan diucapkan. Bahwa adapun yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim memutuskan hal tersebut antara lain adalah :
• Surat dakwaan dibuat berdasarkan pelimpahan berkas yang tidak lengkap, karena penetapan tersangka telah batal oleh putusan praperadilan ;
• Belum dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar ;
• Penetapan tersangka yang tidak sah membuat penetapan terdakwa dalam kasus ini juga menjadi tidak sah pula ;
• Penuntutan dinyatakan tidak sah maka penuntutan tidak dapat diterima.
Menanggapi putusan hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung tersebut, tim penasehat hukum ZM dari Kantor Pengacara VINCENSIUS BINSAR RONNY & PARTNERS dalam perkara pidana Nomor : 953/Pid.B/2018/PN.Blb. jo. 32/PID/2019/PT.BDG. tersebut menyambut dengan suka cita putusan yang sangat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi ZM. Di sisi lain dari putusan perkara tersebut kita dapat melihat bahwa memang penegakan hukum yang benar dan ideal terkadang masih belum terjadi. Salah satu faktor yang krusial dalam mewujudkan hukum dilaksanakan dengan benar dan ideal adalah perlunya perilaku aparat penegak hukum yang baik. Standar tolak ukur perilaku aparat penegak hukum yang baik menurut aturan perilaku bagi aparat penegak hukum (code of conduct for law enforcement officials) sebagaimana diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum Persatuan Bangsa Bangsa (PBB/UN) No : 34/169 tanggal 17 Desember 1979, bahwa aparat penegak hukum harus berperilaku :
• Jujur ;
• Menaati norma-norma hukum yang sudah ada dalam menegakkan hukum seperti norma kemanusiaan, norma keadilan, norma kepatutan, dan norma kejujuran ;
• Profesional ;
• Tangguh secara mental ;
• Berintregritas ;
• Beretika tinggi.
Jika tolak ukur tersebut tidak dapat diimplementasikan oleh aparat penegak hukum, maka penegakan hukum yang baik tidak akan tercapai dan kejadian yang mirip seperti yang telah dialami oleh ZM akan terus terulang. Kejadian-kejadian seperti itu apabila terus berulang tentu akan memperburuk citra hukum, penegak hukum dan proses penegakan hukum di mata masyarakat yang akan menyebabkan makin menipisnya kepercayaan masyarakat kepada hukum itu sendiri. Apabila hal tersebut terjadi dan masyarakat mulai mencari keadilan dengan cara main hakim sendiri, tentu hal tersebut akan sangat berbahaya dan merugikan banyak pihak. Karena itu, aparat penegak hukum baik itu polisi, jaksa, hakim dan pengacara/advokat perlu makin meningkatkan kinerjanya agar kejadian seperti yang dialami oleh ZM tidak kembali berulang. Peningkatan kinerja tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan perbaikan sistem hukum, peningkatan etika dan moral, perbaikan pendidikan dan kesadaran hukum, dan juga perlunya kesadaran beragama.

Penulis adalah Advokat (Pengacara, Penasehat Hukum dan Konsultan Hukum,) Founder,
Managing Partner pada Kantor Hukum VINCENSIUS BINSAR RONNY, S.H., M.H. & PARTNERS di Bandung.