Penerapan Azas Mempersulit Perceraian di Pengadilan Agama sebagaimana rumusan SEMA Nomor 3 Tahun 2023
Penerapan Azas Mempersulit Perceraian di Pengadilan Agama sebagaimana rumusan SEMA Nomor 3 Tahun 2023
Oleh : Vincensius Binsar Ronny S.H., M.H.*
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia telah mengandung prinsip mempersulit perceraian, dimana prinsip tersebut merupakan sebuah langkah strategis yang bertujuan untuk menjaga keutuhan rumah tangga dan mencegah terjadinya perceraian yang dilakukan dengan sembarangan. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa perkawinan bukan hanya sekadar ikatan antara dua individu, melainkan juga merupakan sebuah institusi sosial yang memiliki dampak luas terhadap masyarakat. Karena itu, prinsip mempersulit perceraian sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Perkawinan harus menjadi pedoman utama.
Penerapan dari prinsip ini tercermin dalam kewajiban bahwa setiap proses perceraian harus dilakukan melalui jalur pengadilan. Hal ini bukan sekadar prosedur administratif, tetapi lebih kepada upaya untuk memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil adalah hasil pemikiran yang matang dan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk dampak psikologis dan sosial bagi pasangan serta anak-anak mereka. Proses pengadilan memberikan ruang bagi pasangan untuk mendiskusikan masalah mereka secara terbuka dan jika memungkinkan mencari solusi yang lebih baik daripada perceraian.
Dalam proses pemeriksaan perkara perceraian, Pengadilan memiliki kewajiban untuk memerintahkan pihak-pihak yang ingin bercerai untuk menjalani mediasi sampai dengan 30 hari. Jika hasil mediasi belum memuaskan, maka jangka waktu tersebut dapat diperpanjang berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Mahkamah Agung RI (Perma) Nomor 1 Tahun 2016, dimana melalui Perma ini telah tersirat upaya meminimalisasi perceraian. Bahkan berdasarkan ketentuan Pasal 130 HIR/154 Rbg mengatur bahwa Pengadilan wajib mengupayakan perdamaian terlebih dahulu. Artinya, setiap kali persidangan, Hakim berkewajiban memberikan nasihat kepada para pihak untuk mempertimbangkan kembali rencana perceraian mereka. Rangkaian proses ini memberikan kesempatan bagi pasangan yang ingin bercerai untuk menemukan jalan tengah sebelum benar-benar memutuskan berpisah. Hal ini menunjukkan bahwa Pengadilan tidak hanya berfungsi sebagai lembaga yang memutuskan perkara, tetapi juga sebagai penengah yang berupaya menjaga keharmonisan keluarga.
Langkah-langkah kebijakan ini dirancang untuk mendorong pasangan suami istri agar mencoba menyelesaikan permasalahan mereka secara damai dan konstruktif sebelum memutuskan untuk bercerai. Dalam banyak kasus, masalah yang muncul dalam rumah tangga sering kali dapat diselesaikan melalui komunikasi yang baik dan saling pengertian. Oleh karena itu, Pengadilan diharapkan untuk memfasilitasi proses mediasi dan penyelesaian konflik yang dapat membantu memperbaiki hubungan rumah tangga, dengan memberikan kesempatan bagi pasangan untuk berbicara dan mendiskusikan masalah mereka, diharapkan akan muncul solusi yang lebih baik daripada keputusan untuk berpisah. Kebijakan ini bertujuan agar setiap permasalahan rumah tangga dihadapi dengan usaha rekonsiliasi, sehingga hanya dalam keadaan-keadaan tertentu yang serius perceraian diizinkan sebagai langkah terakhir.
Mahkamah Agung R.I. melalui SEMA Nomor 3 Tahun 2023 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2023 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, merumuskan bahwa “Perkara perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus dapat dikabulkan jika terbukti suami istri terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga diikuti dengan telah berpisah tempat tinggal paling singkat 6 (enam) bulan kecuali Tergugat/Penggugat ditemukan fakta melakukan KDRT.”
SEMA ini menekankan Azas Mempersulit Perceraian dalam Peradilan Agama yang bertujuan untuk mengupayakan agar tidak terjadinya perceraian dan menekan angka perceraian di Indonesia. Rumusan SEMA No. 3 Tahun 2023 yang mensyaratkan pasangan untuk berpisah selama enam bulan sebelum mengajukan perceraian, kecuali jika terindikasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), bertujuan untuk memberikan waktu kepada pasangan suami istri agar dapat mempertimbangkan kembali keputusan mereka dan mencoba memperbaiki hubungan mereka. Hal ini jelas memberikan keuntungan kepada pihak-pihak yang akan berperkara, dimana dengan memberi waktu 6 bulan maka para pihak agar dapat berkomunikasi dan mempertahankan pernikahan mereka. Para pihak diberi waktu untuk berbicara satu sama lain, karena ditakutkan bahwa gugatan yang diajukan para pihak dibuat dalam keadaan emosi sesaat karena hal yang sepele dan harus mempertimbangkan akibat perceraian tersebut jika terjadi, seperti anak yang menjadi korban perceraian. Dampaknya bagi anak juga tidak kecil, beberapa anak mungkin dapat bangkit setelah mengalami masa-masa sulit pascaperceraian kedua orang tuanya. Akan tetapi, beberapa anak, terutama bagi anak yang masih di bawah umur, mungkin masalah itu akan berkelanjutan seumur hidup mereka. Akibat perceraian kedua orang tuanya, harus memgalami masalah kejiwaan secara serius, seperti malas belajar sehingga menyebabkan prestasi akademiknya menurun, hilangnya minat berinteraksi sosial, sensitif secara emosional, kesulitan beradaptasi terhadap perubahan.
Dalam konteks demikian pula, penyelesaian perkara perceraian sepatutnya memang tidak dibatasi waktu secara kaku. Keberhasilan penyelesaian perkara perceraian, selain perkara verstek, sejatinya tidak dapat diukur dari sedikit atau banyaknya kuantitas waktu. Akan tetapi, tergambar dari fakta-fakta persidangan termasuk berkas perkara yang menggambarkan upaya Hakim secara maksimal menegakkan Azas Mempersulit Perceraian, yang tentunya berakibat proses persidangan menjadi lama. Sekalipun pada akhirnya Hakim memutus cerai, setidaknya Hakim telah mendayagunakan segenap kemampuannya untuk “menghambat” proses perceraian.
*Penulis adalah Advokat, Founder Kantor Hukum VBR & Partners.