0

PERMA No. 3 Tahun 2019

PERMA No. 3 Tahun 2021

Oleh : Vincensius Binsar Ronny S.H., M.H.*

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2021 mengatur tentang prosedur pengajuan keberatan terhadap putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dalam PERMA ini, dijelaskan bahwa prosedur pengajuan keberatan terhadap putusan KPPU dilakukan melalui Pengadilan Negeri. PERMA ini bertujuan untuk menyederhanakan dan mempercepat proses sengketa terkait keputusan KPPU di Pengadilan Niaga, agar pihak yang dirugikan dapat segera memperoleh kepastian hukum.

Berikut adalah langkah-langkah yang lebih spesifik berdasarkan PERMA No. 3 Tahun 2021 :

  1. Pengajuan Keberatan ke Pengadilan  :

Waktu Pengajuan: Keberatan harus diajukan dalam waktu 14 hari setelah pihak yang bersangkutan menerima salinan putusan KPPU.

Pengadilan yang Berwenang : Keberatan diajukan ke Pengadilan Niaga  karena berfungsi sebagai pengadilan yang memiliki yurisdiksi untuk menangani perkara yang melibatkan KPPU.

  1. Pendaftaran Keberatan :

Proses Pendaftaran : Permohonan keberatan didaftarkan di Pengadilan Niaga yang berwenang. Pihak yang mengajukan keberatan harus menyerahkan dokumen yang diperlukan, termasuk salinan putusan KPPU yang akan diajukan keberatan.

  1. Proses Pemeriksaan Keberatan:

Setelah pengajuan, pengadilan akan memeriksa keberatan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pemeriksaan Singkat : Pemeriksaan keberatan ini akan dilakukan dengan prosedur yang cepat, dengan batas waktu 60 hari sejak keberatan didaftarkan.

  1. Putusan Pengadilan :

Keputusan Pengadilan : Setelah pemeriksaan, Pengadilan Niaga akan memutuskan apakah putusan KPPU tetap berlaku, dikurangi, atau dibatalkan.

Banding : Jika salah satu pihak merasa tidak puas dengan putusan Pengadilan Negeri, mereka dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi dalam waktu 14 hari setelah menerima salinan putusan.

  1. Biaya Proses Keberatan:

Biaya untuk mengajukan keberatan umumnya akan mengikuti prosedur pengadilan pada umumnya, dan bisa berbeda tergantung pada kebijakan yang berlaku di Pengadilan Niaga.

Berikut tautan link nya :

http://chrome-extension://efaidnbmnnnibpcajpcglclefindmkaj/https://jdih.mahkamahagung.go.id/storage/uploads/produk_hukum/PERMA%20NOMOR%203%20TAHUN%202021/1652410270_PERMA_3_2021.pdf

*Penulis adalah Fouder dari Kantor Hukum VBR & Partners

0

Pedoman Eksekusi pada Pengadilan Negeri Tahun 2019

Pedoman Eksekusi pada Pengadilan Negeri Tahun 2019

Oleh : Vincensius Binsar Ronny S.H., M.H.*

Pedoman Eksekusi pada Pengadilan Negeri Tahun 2019 adalah pedoman yang disusun oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk memberikan acuan yang jelas bagi pengadilan dalam melaksanakan eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Pedoman ini bertujuan untuk memastikan bahwa eksekusi dilakukan secara efisien, adil, dan sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Pedoman Eksekusi ini diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang berlaku pada tahun 2019. Berikut adalah beberapa poin penting yang tercakup dalam pedoman eksekusi pada Pengadilan Negeri berdasarkan SEMA Tahun 2019:

  1. Dasar Hukum Eksekusi

Eksekusi dilaksanakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Pasal 195 hingga Pasal 201 HIR (Herzien Inlandsch Reglement) atau Pasal 224 hingga Pasal 227 Rbg (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) menjadi dasar hukum dalam melaksanakan eksekusi perkara perdata di Pengadilan Negeri.

  1. Prosedur Permohonan Eksekusi

Pihak yang menang dalam perkara harus mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan dengan disertai salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Permohonan eksekusi harus diajukan dalam waktu 14 hari sejak putusan tersebut berkekuatan hukum tetap, apabila eksekusi dilakukan dalam bentuk penyitaan harta benda.

  1. Tindak Lanjut Permohonan Eksekusi

Ketua Pengadilan Negeri setelah menerima permohonan eksekusi wajib untuk memprosesnya dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

Pengadilan Negeri mengeluarkan Surat Perintah Eksekusi yang berisi instruksi kepada pihak eksekutor untuk melakukan tindakan eksekusi sesuai dengan isi putusan pengadilan.

  1. Proses Eksekusi Perkara Perdata

Dalam eksekusi perkara perdata, tindakan yang dilakukan bisa berupa:

Penyitaan dan penjualan barang: Untuk memenuhi kewajiban pembayaran uang atau barang.

Eksekusi pengosongan: Bila eksekusi menyangkut kewajiban pengosongan tempat atau objek yang telah diperintahkan oleh putusan.

Eksekutor akan menyita harta milik pihak yang kalah dalam perkara jika tidak ada pembayaran sukarela.

  1. Eksekusi Terhadap Badan atau Tindakan Pidana

Dalam perkara pidana, eksekusi berarti pelaksanaan keputusan hukum berupa penahanan atau penyitaan harta benda yang terkait dengan perkara pidana.

Eksekusi terhadap badan dapat melibatkan tindakan penahanan, hukuman penjara, atau pidana lainnya yang telah dijatuhkan oleh pengadilan.

  1. Peran Eksekutor

Eksekutor berperan dalam pelaksanaan eksekusi berdasarkan surat perintah yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri.

Eksekutor wajib membuat laporan tertulis tentang pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan setelah proses eksekusi selesai dilaksanakan.

  1. Sanksi dan Penangguhan Eksekusi

Jika pihak yang kalah tidak kooperatif dalam memenuhi putusan pengadilan, eksekusi tetap harus dilakukan.

Pengadilan dapat memberikan penangguhan eksekusi apabila ada alasan yang sah berdasarkan permohonan dari pihak yang kalah, namun penangguhan ini hanya berlaku untuk sementara.

  1. Penyelesaian Sengketa dalam Eksekusi

Jika terdapat sengketa selama pelaksanaan eksekusi, seperti penolakan dari pihak yang kalah atau masalah lain, maka pihak yang dimenangkan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Pengadilan akan memberikan putusan sela atau tindakan lain yang dianggap perlu untuk memastikan bahwa eksekusi dapat berjalan dengan lancar.

  1. Efektivitas dan Pengawasan

Pedoman ini menekankan pentingnya pengawasan yang tepat selama pelaksanaan eksekusi, untuk memastikan bahwa proses tersebut dilakukan dengan cara yang sah dan sesuai dengan prinsip keadilan.

Pengadilan Negeri diwajibkan untuk melakukan evaluasi dan pengawasan internal untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan eksekusi, dengan tujuan agar setiap putusan dapat dilaksanakan secara efektif.

  1. Kewajiban Pengadilan Negeri

Pengadilan Negeri bertanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap eksekusi dilakukan dengan transparan, akuntabel, dan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Eksekutor diharapkan untuk selalu menjaga ketertiban, menghindari penyalahgunaan kewenangan, dan menghormati hak-hak pihak yang terlibat dalam eksekusi.

Pedoman Eksekusi pada Pengadilan Negeri ini bertujuan untuk menciptakan proses eksekusi yang lebih cepat, transparan, dan akuntabel, serta memastikan keadilan bagi pihak yang terlibat dalam proses hukum.

Pedoman Eksekusi 12 Feb 2019-merged

*Penulis adalah Advokat, Founder Kantor Hukum VBR & Partners.

0

ADMINISTRASI PENGAJUAN UPAYA HUKUM DAN PERSIDANGAN KASASI DAN PENINJAUAN KEMBALI DI MAHKAMAH AGUNG SECARA ELEKTRONIK

Peradilan modern berbasis teknologi informasi merupakan salah satu prasyarat terwujudnya penyelenggaraan peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan serta sebagai upaya untuk meningkatkan akses terhadap keadilan.

Peraturan Mahkamah Agung ini merupakan salah satu dasar hukum dan panduan bagi Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta Para Pihak dalam melaksanakan administrasi dan persidangan perkara kasasi dan perinjauan kembali secara elektronik.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2022 tentang Administrasi Pengajuan Upaya Hukum Dan Persidangan Kasasi dan Peninjauan Kembali Di Mahkamah Agung Secara Elekstronik ini bertujuan untuk :

  1. Meningkatkan akses masyarakat terhadap keadilan;
  2. Mewujudkan prosedur berperkara yang sederhana, cepat dan biaya ringan;
  3. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam prosedur berperkara; dan
  4. Mewujudkan pengadilan yang modern dan profesional dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi.

Peraturan tentang Administrasi Pengajuan Upaya Hukum Dan Persidangan Kasasi Dan Peninjauan Kembali Di Mahkamah Agung Secara Elektronik, dapat diunduh pada link di bawah ini :

https://jdih.mahkamahagung.go.id/legal-product/perma-nomor-6-tahun-2022/detail

0

GUGATAN SEDERHANA

GUGATAN SEDERHANA

Oleh : Vincensius Binsar Ronny*

Gugatan sederhana merupakan gugatan perdata dengan nilai gugatan materiil paling banyak Rp. 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah) yang diselesaikan dengan tata cara pembuktian yang sederhana. Penyelesaian gugatan sederhana merupakan langkah baru dalam penyederhanaan mekanisme dan prosedur penyelesaian perkara perdata yang diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Penyederhanaan ini bertujuan untuk menyediakan jasa dan infrastruktur bagi pencari keadilan agar dapat menyelesaikan perkara perdata di lingkungan peradilan umum secara cepat, sederhana, dan biaya ringan untuk perkara perdata yang sifatnya sederhana.

Untuk memenuhi kriteria Gugatan Sederhana maka para pihak harus memenuhi kriteria sebagai berikut yaitu :

  1. Masing-masing satu penggugat dan tergugat yang merupakan orang perseorangan atau badan hukum. Penggugat maupun tergugat dapat lebih dari satu apabila memiliki kepentingan hukum yang sama
  2. Penggugat dan tergugat berada dalam daerah hukum yang sama.
  3. Jenis perkara berupa ingkar janji ataupun perbuatan melawan hukum kecuali untuk perkara yang telah dikecualikan, sengketa atas tanah dan/atau perkara yang masuk yurisdiksi pengadilan khusus.
  4. Nilai gugatan materiil paling banyak Rp. 500.000.000,-

Disamping kriteria gugatan sederhana terdapat juga beberapa perkara yang dikecualikan dari Gugatan Sederhana, yaitu :

  1. Perkara yang penyelesaian sengketanya dilakukan melalui pengadilan khusus sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan, seperti persaingan usaha sengketa konsumen dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
  2. Perkara yang berkaitan dengan sengketa hak atas tanah.

Untuk Pihak yang dapat mengajukan gugatan sederhana adalah seluruh subyek hukum, baik orang perseorangan ataupun badan hukum, dapat mengajukan gugatan sederhana, asalkan tidak lebih dari satu kecuali memiliki kepentingan hukum yang sama.

Untuk dapat melaksanakan pendaftaran Gugatan Sederhana maka dapat menempuh Mekanisme seperti di bawah ini :

  1. Penggugat mendaftarkan gugatannya di kepaniteraan pengadilan
  2. Gugatan dapat ditulis oleh penggugat atau dengan mengisi blanko gugatan yang telah disediakan di kepaniteraan
  3. Blanko gugatan berisi keterangan mengenai : Identitas Penggugat dan Tergugat, Penjelasan ringkas duduk perkara, dan Tuntutan Penggugat.

Untuk besaran Biaya Perkara ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri setempat. Panjar biaya tersebut dibayar oleh penggugat, sedangkan biaya perkara dibebankan kepada pihak yang kalah sesuai dengan amar putusan. Penggugat yang tidak mampu dapat mengajukan permohonan beracara secara cuma-cuma atau prodeo.

Demikian disampaikan perihal Gugatan Sederhana.

Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, dapat diunduh pada :

https://jdih.mahkamahagung.go.id/index.php/legal-product/perma-nomor-04-tahun-2019/detail

*Penulis adalah Advokat (Pengacara, Penasehat Hukum dan Konsultan Hukum), Founder, Managing Partner pada Kantor Hukum Vincensius Binsar Ronny, S.H., M.H. & Partners, di Bandung.

 

0

PENCURIAN  Vs.  UU ITE :  KASUS PENCURIAN COKLAT DI MINIMARKET ALFAMART SAMPORA, TANGERANG SELATAN

PENCURIAN  Vs.  UU ITE :  KASUS PENCURIAN COKLAT DI MINIMARKET ALFAMART SAMPORA, TANGERANG SELATAN

Oleh : Vincensius Binsar Ronny*

 Kronologis peristiwa  yang viral di media sosial ini terjadi pada pertengahan bulan Agustus 2022, bermula saat seorang wanita bernama Mariana Ahong kedapatan mengambil cokelat di Alfamart Sampora, Tangerang Selatan.  Kemudian, pegawai Alfamart memergoki aksi wanita tersebut dan memvideokannya.  Dalam video tersebut, pegawai Alfamart meminta wanita itu untuk jujur dan mengakui perbuatannya.  Akhirnya, wanita itu mengakui telah mengambil cokelat, dan ia pun mengeluarkan cokelat itu dan memberikannya kepada pegawai minimarket dan mencoba kabur dengan mobil Mercedes-Benz nya.  Pegawai Alfamart yang merekam Mariana, meminta yang bersangkutan untuk membayar apa yang dia curi, dan konsumen itu pun mengembalikan setumpuk cokelat sambil berjalan kembali ke kasir untuk membayar.

Selang beberapa hari kemudian Mariana datang kembali ke Alfamart Sampora didampingi dengan seorang pengacara untuk menemui pegawai Alfamart tersebut, dan pengacaranya menjelaskan bahwa karena banyak beban pikiran Mariana tidak sadar ada cokelat di tasnya, ia tidak tahu mengapa cokelat tersebut tiba-tiba ada di tas Mariana.  Mariana mengira kejadian tersebut sudah selesai, namun ternyata keesokan hari setelah kejadian pencurian itu ia baru mengetahui dari anaknya bahwa dirinya telah viral di media sosial atas kejadian di Alfamart Sampora tersebut.  Mariana meminta klarifikasi dari pegawai Alfamart.

Mariana dan pengacaranya meminta pegawai Alfamart untuk meminta maaf usai kejadian tersebut dan mengancam pegawai Alfamart dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) UU ITE jika tidak minta maaf, karena Mariana merasa telah dicemarkan nama baiknya lewat video viral tersebut.  Kasus pegawai Alfamart tersebut berlanjut dimana pegawai Alfamart akhirnya meminta maaf usai memergoki Mariana yang telah mencuri cokelat.  Tampak dalam video tersebut, seorang wanita yang mengenakan seragam pegawai Alfamart memberikan klarifikasi sambil berdiri diapit Mariana dan pengacaranya.  Dalam video itu pula, pegawai Alfamart itu menyebut peristiwa yang terjadi hanya kesalahpahaman, ia meminta maaf kepada wanita yang dipergokinya yaitu Mariana.

Hasil investigasi awal, pihak Alfamart mengklaim Mariana juga mencuri produk lain, selain cokelat. Perusahaan pun akan mengambil langkah hukum untuk menyelesaikan permasalahan ini, dengan membuat laporan resmi ke pihak Kepolisian setempat.

Melihat kronologis kejadian diatas, maka penulis simpulkan ada 3 (tiga) dugaan tindak pidana yang terjadi dalam kasus Alfamart Sampora ini, yaitu :  Pencurian yang dilakukan Mariana Ahong, Pencemaran nama baik dalam UU ITE yang menjerat pegawai Alfamart dan Pengancaman terhadap pegawai Alfamart.

Perbuatan Mariana Ahong yang mengambil coklat di minimarket Alfamart jelas salah, karena melanggar ketentuan Pidana jo. pasal 362 KUHP mengenai tindak pidana Pencurian dengan ancaman penjara maksimal 5 tahun penjara.  Mariana yang mencuri coklat itu bisa tetap dijerat pasal pencurian, walaupun barang yang dicuri itu sudah dibayarkan setelah aksinya terpergok oleh pegawai Alfamart. Perbuatan pencuriannya sudah terjadi. Bahwa perlu dicermati, pencurian itu adalah delik formil, yang artinya jika sudah terjadi perbuatan pidana (pencurian) maka unsurnya sudah terpenuhi, meskipun pelaku pencurian dalam hal ini Mariana kemudian mengganti rugi kepada minimarket Alfamart.  Terkait dengan adanya ganti rugi oleh Mariana in casu pembayaran kepada pegawai Alfamart, maka pada azasnya ganti rugi itu tidak menghapus pidananya, namun bisa dijadikan alasan untuk meringankan hukuman pelaku di persidangan nanti atau sebagai alasan untuk kepentingan restoratif justice atau perdamaian/rekonsiliasi antara pelaku dan korban.

Lebih lanjut sehubungan peristiwa pencurian tersebut, maka yang bisa melaporkan kepada pihak berwajib atau kepolisian yaitu Alfamart, pegawai yang bersangkutan, orang lain yang menyaksikan pencurian itu atau langsung mendapat tindakan oleh polisi (tidak perlu ada laporan dari siapapun) sebagaimana ketentuan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 6 tahun 2019 laporan model A.

Mariana, dalam kasus ini karena merasa sebagai korban yang dirugikan, boleh-boleh  saja berniat untuk membuat laporan polisi dengan tuduhan telah mencemarkan nama baiknya lewat video yang telah dibuat dan di-upload pegawai Alfamart tersebut dan menjeratnya dengan UU ITE.  Namun kemudian menimbulkan pertanyaan yuridis : “Apakah pegawai Alfamart tersebut bisa  dikenakan UU ITE karena tindakannya mem-videokan peristiwa pencurian dan mem-viralkannya ke jagad dunia maya ?”

Jika melihat ketentuan di dalam UU ITE, kita akan temukan beberapa pasal yang mungkin bisa diterapkan dalam kasus ini.  Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) memiliki begitu banyak pasal yang mengatur larangan dalam aktivitas yang dianggap merugikan.  Salah satunya, tindakan mengambil gambar atau merekam seseorang tanpa izin, lalu menyebarkannya.  Pasal yang bisa menjeratnya adalah UU ITE pasal 32 ayat 1, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut : “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak“.

Selain itu, ini larangan yang juga ada di UU ITE adalah sebagai berikut :

  1. Mendistribusikan dokumen elektronik bermuatan asusila, perjudian, pencemaran nama baik, pemerasan, dan pengancaman (pasal 27). Adapun Pasal 27 Ayat 3 UU ITE 11/2008 selengkapnya berbunyi sebagai berikut : “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.
  2. Mendistribusikan berita bohong atau hoax kepada masyarakat terkait suku, agama, ras antar golongan (pasal 28).
  3. Menyebarkan ancaman kekerasan/menakut-nakuti (pasal 29).
  4. Mengakses, mengambil, dan meretas sistem elektronik milik orang lain dengan cara apapun (pasal 30).
  5. Melakukan intersepsi atau penyadapan terhadap sistem elektronik milik orang lain dari publik ke privat dan sebaliknya (pasal 31).
  6. Mengubah, merusak, memindahkan ke tempat yang tidak berhak, menyembunyikan informasi atau dokumen elektronik, serta membuka dokumen atau informasi rahasia (pasal 32).

Selain UU ITE, sebenarnya telah ada Memorandum of Understanding (MoU) atau Surat Kesepakatan Bersama (SKB) tahun 2001 terkait  UU ITE Pasal 27 ayat 3 antara Kemenkominfo, Jaksa Agung, dan Polri.  Dalam MoU itu disebutkan bahwa setiap konten atau video yang berisi sebuah kenyataan atau fakta, tidak bisa diterapkan Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik.  Adapun SKB itu berisi tentang Pedoman Impelementasi Atas Pasal Tertentu Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, pada angka No. 3 huruf C.

Penulis menilai pegawai Alfamart yang merekam dan mengunggah pencurian cokelat di minimarket Alfamart tersebut tentunya tidak bisa dijerat dengan  UU ITE.  Tidak ada unsur pencemaran nama baik yang dilakukan pegawai Alfamart tersebut karena peristiwa pidana pencurian telah terjadi.  Jika Mariana benar-benar melaporkan pencemaran nama baiknya oleh pegawai Alfamart tersebut, maka secara yuridis laporan tersebut bisa gugur dengan adanya tindak pidana pencurian tersebut.

Selain itu, pegawai Alfamart tersebut tidak bisa dijerat dengan UU ITE, karena peristiwa yang terjadi dalam video yang direkam dan di-upload oleh pegawai Alfamart tersebut merupakan fakta yang memaparkan bahwa benar wanita itu telah mencuri  coklat, walaupun kemudian ia membayarnya.  Pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE hanya berlaku jika informasi yang dibagikan adalah fitnah atau tuduhan terhadap seseorang.  Pegawai Alfamart yang merekam dan menyebarkan video Mariana tidak bisa dituntut dengan menerapkan ketentuan UU ITE Pasal 27 Ayat 3 tentang pencemaran nama baik, karena tidak ada unsur mens rea atau niat jahat pegawai Alfamart dalam merekam dan menyebarkan fakta mengenai Mariana yang telah mencuri cokelat.

Video yang viral tersebut bukan tindak pidana/delik yang berkaitan dengan muatan penghinaan atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 27 ayat 3 UU ITE, jika muatan atau konten tersebut adalah berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan.  Jadi selama muatannya benar, maka orang yang memvideokan tidak bisa dianggap mencemarkan nama baik, apalagi dipidana dengan UU ITE, halmana diatur juga  dalam ketentuan Pasal 310 ayat 3 KUHP.  Pegawai Alfamart tersebut tidak melakukan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.  Jadi selama merekam video tanpa izin itu untuk kepentingan umum agar masyarakat atau penegak hukum mengetahui adanya perbuatan pencurian, atau dilakukan untuk membela diri dalam konteks ini tidak bisa dijerat UU ITE.

Tindakan Mariana yang marah dikarenakan viralnya video pencurian dan menuntut pegawai Alfamart tersebut dengan ancaman undang-undang (UU) ITE adalah hal yang keliru dan salah.  Di zaman sekarang ini, memviralkan sesuatu adalah lumrah, memviralkan merupakan sarana bagi seseorang atau masyarakat untuk mendapatkan suatu perhatian dan atau keadilan.  Jadi, tindakan karyawan Alfamart ketika memviralkan masalah ini tidak bisa dipersalahkan.

Terkait pengancaman terhadap pegawai Alfamart oleh Mariana, hal tersebut bisa dilaporkan oleh pegawai Alfamart ke pihak kepolisian.  Pasal 335 ayat 1 KUHP mengatur hal itu, ancaman nya 1 (satu) tahun penjara.

Rekomendasi dari penulis terkait kasus-kasus seperti diatas yang menyangkut penyalahgunaan penerapan pasal dalam UU ITE, maka perlu dilakukannya langkah-langkah kebijakan hukum yang lebih tegas berupa pembaharuan hukum dalam UU ITE yang menetapkan syarat limitatif bagi pelaporan, agar ke depannya tidak semua orang bisa sembarangan menggunakan ketentuan UU ITE untuk mengebiri kebenaran atas suatu fakta atau dengan kata lain mengkriminalisasi orang lain.

 Penulis adalah Advokat (Pengacara, Penasehat Hukum dan Konsultan Hukum), Founder, Managing Partner pada Kantor Hukum VINCENSIUS BINSAR RONNY, S.H., M.H. & PARTNERS di Bandung.

 

 

 

 

 

 

 

 

1 2 3